(I am trying to write a long story. This is the first part)
Secangkir teh hijau sudah tersaji di meja kerjanya. Tapi ia tidak bergeming untuk mengambil cangkir dan mereguknya. Seperti biasanya is menyesap teh hangatnya dengan nikmat. Ia gundah. Ia jatuh cinta. Pada orang yang salah.
Kali ini teh hijaunya sudah dingin. Malam sudah turun. Beberapa rekan kerjanya sudah pulang. Ia memandang kosong laptopnya. Ia jatuh cinta. Pada suami sahabatnya.
Mengapa baru sekarang ia merasakan getaran itu. Di saat usia pernikahan sahabatnya menginjak sepuluh tahun. Di saat mereka mengerjakan proyek bersama. Padahal ia sudah kenal lama. Tak terhitung seringnya mereka pergi bersama. Mengapa ia baru berdegup sekarang? Ketika ia melirik jari suami sahabatnya yang memakai cincin pernikahan?
Sebentuk cincin emas putih dengan barisan berlian kotak. Ia ingat sahabatnya memintanya untuk mengantar membeli cincin perkawinan. Dari beberapa pilihan yang ada, sahabatnya kebingungan, mana yang lebih cocok untuknya, dan dia menunjuk sebaris berlian kotak, karena menurutnya itu lebih terlihat ‘lelaki’ dibanding cincin lainnya. Mana sangka sepuluh tahun kemudian cincin itu yang membuatnya berdesir?
Minggu lalu tepatnya, ia datang ke kantor suami sahabatnya. Sebagai seorang desainer interior, ia diminta oleh Naira mengisi kantor suaminya yang baru saja membuka cabang. Permintaan Tommy sebagai kliennya tidak banyak. Sepenuhnya diserahkan pada Lia. Tommy sudah beberapa kali melihat hasil kerja Lia, dan ia cukup antusias untuk menjadikan Lia sebagai desainer pada kantornya. Setelah ia presentasi di hadapan Tommy dan partnernya, mereka terlihat puas dengan desain Lia, hanya ada beberapa perubahan sedikit pada pemilihan furniture.
Pertemuan mereka diakhiri dengan berbincang-bincang berdua karena partner Tommy harus memimpin rapat. Tommy menunggu dijemput oleh Naira. Pada saat itulah, Lia melirik jari Tommy yang sedang mengetuk-ngetuk meja meeting. Cincin itu mengganggunya. Berkali-kali ia melirik kembali. Bagaimana bisa cincin sederhana itu membuatnya buyar konsentrasi? Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Matanya tidak bisa lama-lama memandang mata Tommy. Tiba-tiba ia gelisah. Jam terasa lama bergerak. Untungnya tak lama kemudian Naira tiba. Sahabatnya yang cantik itu, selalu ceria, datang dan mengajak Lia untuk ikutan makan malam bersama mereka. Lia menolak halus dengan alasan ia mesti ketemu klien lagi.
“Mungkin ia ada janji kencan” Tommy menggodanya seraya mengedipkan mata.
“Haduh, ga mungkin aku ga dikasih tahu kalo dia ada kencan” Rajuk Naira.
“Iya lah, ga mungkin aku ga cerita, udah ya Nai, aku jalan lagi, makasih ya Tom, nanti aku kirim contoh-contoh yang lain ya, bye”. Langsung Lia keluar dari ruangan Tommy. Berjalan cepat ke arah mobil.
Lia langsung pulang ke apartemennya di lantai 15. Buka kulkas. Ambil choc-chip iced cream dan duduk setelah menyalakan Moby dari ipod. Wait for Me mengalun di speaker Bosenya, menemani. Ada apa dengannya? Dia kan suami sahabatnya? Kenapa tiba-tiba jadi begini?
Naila adalah sahabatnya dr SMP dulu. mereka berdua bagai tidak bisa dipisahkan. Dimana ada Naila, disitu ada Lia. Mereka tumbuh dan dewasa bersama. Mereka berdua menikmati masa-masa ceria bersama. Memang berkali-kali pula mereka berselisih dan tidak berbicara selama beberapa hari. Tapi tak lama, mereka akan jalan dan tertawa bersama menghilangkan pertikaian di antara mereka. Kami berada dalam amlitudo yang sama. Sama-sama gila dalam ide, sama-sama suka berpetualang, kami tahu saat-saat kami ingin berpisah untuk menyendiri. Pendeknya, tidak ada yang memisahkan kami.
Lulus kuliah, Naira kerja di biro advertising, dan Lia menjadi interior desainer. Akhirnya Naira memilih Tommy sebagai pasangan hidupnya, setelah Naira dilema setengah mati, memilih Tommy diantara 3 lelaki yang dipacarinya ketika itu. Sementara Lia, masih senang berkelana kesana kemari, walaupun ia sudah berpacaran lama dengan Bayu, yang akhirnya kandas juga hubungan mereka. Di usianya yang hampir 30, pertanyaan-pertanyaan ‘kapan menikah’ sudah tidak ia tanggapi. Bosan. Ia lebih memikirkan kariernya yang sedang maju. Setelah bergabung di konsultan interior terkenal selama 5 tahun, butuh nyali besar untuk mendirikan konsultan atas namanya sendiri, dan ini butuh konsentrasi penuh.
Ah.. betapa Lia cinta ketenangan dan kesunyian. Kesendirian di tempat tinggalnya ini benar-benar mencharge energinya. Beranjak ke kamar, Lia menyalakan lilin aromaterapinya, mengisi air di bath tub, menuangkan beberapa tetes bath oil. Tidak lupa mengambil ipodnya untuk dinyalakan di kamar mandi. Dan Lia pun menikmati wangi Jasmine dari kamar mandi ditemani Waves of Kilkee.
Tiba-tiba saja bayangan Tommy berada di depan mukanya. Mendekatinya, mendekati tangannya hendak menyentuh pipinya. Lia tersentak. Bayanganpun hilang mengikuti uap air hangat dari bath tub nya. Lia tersadar. Ia tertidur beberapa menit pastinya.
Ahh, tidak, tolong Tuhan , jangan biarkan aku mngikuti perasaanku. Ini gila!! Tidak mungkin dan tidak boleh. Tommy. Suami Naila. Jangan gila, Lia. Membayangkan suami orang aja tidak boleh, apalagi suami sahabat.
**********
Lia sedang membereskan berkas-berkas di mejanya. ketika teleponnya berdering. Naira.
“Non, sibuk banget sih, baca dong BBm aku.”
“Iya nai, sorry banget…mejaku berantakan abis. Sampe pusing nih cari gambar”
“Makan siang yuk besok, aku free besok. Pagi ketemu klien, aku males balik lagi ke kantor”
“Besok? aku janjian meeting di kantor Tommy sih sorenya. Boleh deh lunch dulu”
“wokeyyyyy… i’ll text the place tomorrow ya sayang…”
“Bye, Nai”
Sebenarnya untuk meeting dengan Tommy besok, Lia sudah minta tolong staff seniornya bertemu Tommy. Tapi Tommy bersikeras untuk bertemu dengan Lia langsung. Hal yang paling ingin dihindarinya sekarang-sekarang ini. Memang ia belum bertemu lagi dengan Tommy sejak malam itu, tapi komunikasi lewat email ataupun blackberry saja sudah membuatnya dag-dig-dug. Gimana kalau ketemu langsung?.
***********